Tuesday, 27 March 2018

Pengangguran


Sudah lebih sepuluh bulan saya menyandang status itu. Resah, gelisah, tanpa pencapaian apa-apa dan kadang saya merasa gagal. Ada banyak keinginan dan harapan tapi saya seolah berjalan di tempat.

Sebenarnya kegalauan akan ke mana saya setelah selesai kuliah itu sudah sejak beberapa lama sebelum saya menyandang gelar sarjana. Tapi saat itu saya memotivasi diri saya untuk menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan dulu yaitu menyelesaikan tugas akhir. Kemudian saya mulai fokus dan ya saya menyelesaikannya dengan cukup baik. Wisuda dengan IPK 3, 64, mejadi wisudawan terbaik jurusan, dan meyelesaikan kuliah selama tiga tahun sembilan bulan. Rasanya sangat bangga apalagi saat melihat mama yang menangis terharu melihat anak nakalnya wisuda. Saya merasa telah selesai menuntaskan salah satu kewajiban saya kepada orang tuaku.

Tapi setelah itu, saya kembali lagi pada kegalauan-kegalauan sebelumnya. Ke mana saya? Apa yang akan saya lakukan setelah ini? Apa tujuan hidup saya? Apa harapan saya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.

Ada banyak hal yang saya cita-citakan tapi rasanya sangat mustahil untuk terwujud. Saya juga ada keinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang S2. Tapi, melihat kemampuan orang tua hal itu sangat tidak mungkin untuk sekarang. Untuk mencari beasiswa pun tidak semudah itu. Apalagi saya sangat kurang dalam bahasa Inggris, sedangkan rata-rata persyaratan untuk mendapat beasiswa S2 minimal skor TOEFL 500.  

Kemudian saya sampai pada kesimpulan bahwa saya harus mencari kerja terlebih dahulu. Agar saya mendapat pengalaman dalam dunia kerja dan juga setidaknya dapat pemasukan meski tidak banyak. Saya juga ingin setidaknya bisa memberikan sesuatu kepada orang tua saya dari hasil keringat saya sendiri.

Sejak saat itu saya mulai giat mencari lowongan pekerjaan (loker) dan juga menyebarkan surat lamaran kerja setiap ada loker yang terbuka. Tapi mungkin rejekiku bukan berada di tempat-tempat itu makanya sampai sekarang saya belum juga mendapat pekerjaan.

Di samping menunggu dan mencari kerja, sayapun akhirnya berusaha untuk setidaknya mendapat sedikit uang jajan tanpa meminta kepada orang tua dengan membuat macam-macam es dan kue yang kemudian saya titip ke warung orang tua saya juga sih hehe sekalian untuk menyalurkan hobi membuat kue. Saya sempat berpikir untuk membuka usaha toko kue saja. Tapi akhirnya saya urungkan karena hasilnya kurang menguntungkan dan juga tidak terlalu laris. Akhirnya sekarang saya hanya jualan es saja.

Saya juga sempat berpikir untuk jualan online kebetulan ada toko online yang harganya cukup murah dan saya tinggal jadi reseller. Tapi sampai saat ini saya belum memulai karena masih banyak pertimbangan.

Pada akhirnya saya hanya bisa bersabar dan berdoa serta berusaha untuk mendapatkan pekerjaan yang baik dan halal. Saya yakin suatu saat kalau memang rejeki saya sudah di situ pasti saya akan mendapatkannya.


~WS

Saturday, 24 March 2018

Malam Minggu Kami


Saat itu malam minggu, sekitar pukul delapan lewat dua puluh menit. Aku sedang duduk berdua dengan sahabatku di suatu rumah makan di persimpangan jalan sana. Kami sedang berbincang sambil menunggu pesanan. Pesanan kami sama, mie pangsit biasa dan segelas es jeruk. Dia yang traktir. Karena saya sudah berbaik hati menemaninya bertemu dosen pembimbing malam-malam begini.
Rumah makan ini cukup ramai, hanya ada beberapa meja yang kosong. Saya dan sahabatku duduk di deretan meja ke lima. Kami duduk berhadapan dan saya dengan posisi duduk menghadap pintu keluar bisa dengan leluasa melihat siapa saja yang keluar masuk rumah makan ini.

Di sela berbincang dengan Iin (begitu sapaan akrabnya) saya pun mengamati orang-orang di sekitar termasuk orang yang baru masuk. Awalnya, yang masuk tampak seperti sepasang kekasih mereka duduk di meja deretan ke empat di barisan 2 karena di rumah makan ini pengaturan meja makannya hanya ada dua baris dengan delapan deret meja kalau tidak salah saya tidak terlalu memperhatikan. Saya dan Iin duduk di barisan pertama. Tidak lama setelah itu, ada seorang laki-laki yang masuk, umurnya sekitar dua puluh lima atau mungin kurang dari itu. Dia memakai kemeja merah marun kotak-kotak dan sendiri. Laki-laki itu duduk di meja deretan ke tiga di depan sepasang kekasih yang tadi. Dan dia sendiri. Awalnya kupikir dia sedang menunggu seseorang.

Lalu pesanan kami datang. Saya dan Iin pun memakan makanan kami sambil membicarakan banyak hal. Tentang kami yang masih betah dengan status jomblo padahal banyak teman kami yang sudah menikah dan punya anak. Pandangan sebagian orang yang masih berpikiran kolot menganggap usia kami itu sudah terhitung sangat lambat menikah. Padahal justru di jaman sekarang usia kami ini masih tergolong sangat muda meskipun sudah layak untuk menikah.

Dalam beberapa hal saya memang mempunyai pola piker yang sama dengan Iin tapi kami juga memiliki perbedaan dalam banyak hal lainnya. Bahkan terkadang sikap kami berdua terbalik di mana yang seharusnya dia sebagai yang lebih tua lebih banyak member nasihat pada saya, justru selama ini saya yang lebih banyak menasihati dia. Seperti dalam menyelesaikan pendidikannya, bahkan saya sudah lelah menasehati dia yang terlalu lama menyelesaikan tugas akhirnya padahal kita seangkatan dan saya telah wisuda hampir setahun yang lalu.

Kami juga bercerita mengenai masa-masa sekolah di SD dulu. Yah persahabatan kami memang terjalin sudah lebih dari sepuluh tahun. Sesekali kami tertawa saat mengenang hal-hal lucu yang pernah kami lalui. Kami asik saja bercerita tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar kita. Aahh masa bodo toh nggak kenal haha begitu pikirku.

Begitulah kami kalau bertemu selalu heboh, ini baru berdua belum kumpul berempat. Lebih heboh lagi pastinya. Tapi kumpul berempat itu sangat amat jarang terjadi karena kesibukan masing-masing. Uuuhh jadi rindu. Kami juga sangat jarang berkomunikasi walaupun melalui media sosial. Kalaupun saling menghubungi paling jika ada sesuatu yang penting atau hanya untuk menanyakan hal-hal tertentu. Toh dengan begitu pun persahabatan kami tetap bejalan baik dan harmonis.

Jarum jam sudah menujukkan pukul 21.00, makanan kami sudah tandas. Kami memutuskan untuk pulang. Tapi sebelumnya Iin membayar makanan yang tadi kami makan dulu di kasir. Saat Iin sedang memutar motornya, saya melihat si kemeja merah marun tadi keluar dari rumah makan dan masuk ke sebuah mobil warna hitam, jangan Tanya mereknya karena saya buta masalah itu hehe. Loh tampaknya memang dia sendiri kupikir sedang menunggu seseorang. “memangnya kenapa kalau dia sendiri? Kamu mau temani?” ujar Iin saat saya memberitahunya mengenai laki-laki itu. “yaaah tidaklah, kan saya hanya mengamati orang itu” jawabku tertwa.

Begitulah malam minggu kami berdua yang singkat itu berlalu. Ooh iya, buat Iin, sahabat yang sudah seperti kakak bagiku itu semoga segera menyandang gelar sarjana seceptnya. Saya doakan yang terbaik buatmu, amiiinn…


~WS

24 Maret 2018

MOVE ON #2


Saat aku

mengenang ingatan

yang paling menyakitkan

dengan tersenyum



~WS


24 Maret 2018

MOVE ON


Ketika aku menemukan diriku

berdiri di atas kesunyian

yang tak lagi berduka

dan aku tahu,

Aku baik-baik saja.



~WS


24 Maret 2018

Tuesday, 20 March 2018

Matahari


Ini tentang “matahari” kalau merujuk pada arti katanya matahari adalah benda angkasa, titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi pada siang hari (https://kbbi.web.id/matahari). Matahari juga merupakan sumber cahaya bagi bulan. Karena bulan tidak dapat memancarkan cahayanya sendiri. Bulan hanya memantulkan cahaya matahari yang kemudian membuatnya bersinar di malam hari. Tanpa matahari, mungkin tak akan ada kehidupan di dunia ini.

Dan matahari adalah julukan yang kuberikan untukmu. Kenapa? Karena aku suka bintang tapi bintang itu jauh tak dapat kujangkau. Sekalipun aku mendekat rupanya tak akan sesuai dengan bintang yang kukenali selama ini. Karena itu aku lebih memilih matahari, sekalipun matahari termasuk salah satu bintang, tapi matahari cuma ada satu. Dan sinarnya mampu memberikan kehidupan di bumi ini.

Matahari selalu ada meski saat malam tak terlihat tapi cahanya tetap menerangi malam melalui bulan. Bulan dan matahari memang tak mungkin muncul di waktu yang sama. Tapi mereka berbagi cahaya yang sama dan punya tujuan yang sama, menerangi bumi. Sehingga dapat dikatakan mereka saling melengkapi.

Begitu pun kau, bagiku kaulah matahariku. Kau memang belum ada di sisiku saat ini, tapi aku tahu kau ada. Entah di belahan dunia mana.

Seperti bulan yang ada untuk memancarkan sinar matahari kala malam. Aku pun ada sebagai cerminan diri dan untuk melengkapimu. Agar kamu tak sendirian menjalani kehidupan ini.

Seperti juga matahari yang tak hanya ada untuk menerangi bumi, tapi dia ada agar bulan juga dapat bercahaya. Kaupun sama, bagiku kehadiranmu akan menjadi terangku. Kau adalah cerminan diriku dan pelengkapku. Kaulah yang akan menjadi pembimbingku mengarungi hidup.

Kalau matahari dan bulan saling melengkapi dengan cahayanya, maka kau dan aku saling melengkapi dengan cinta. Sekarang kita memang belum bertemu tapi aku tahu aku akan mencintaimu. Kuharap kaupun sama, dapat memberikn cinta sebanyak ribuan cahaya yang dipancarkan matahari pada bulan hingga bulanpun dapat bersinar terang.

Malam ini tak ada bulan yang bersinar, juga tak ada hujan. Hanya ada bintang yang berkelap-kelip menggoda. Jangan memaksaku memilih salah satu di antara mereka. Atau kau sedang bersembunyi di antara mereka yah? Sehingga aku belum juga menemukanmu. Jangan buatku terlalu lama menunggu dan mencari aku bisa dengan mudah mengenalimu karena kaulah bintang yang paling terang. Tapi kau perlu menampakkan diri, agar aku tak keliru.*


~WS

20 Maret 2018

Monday, 19 March 2018

Jodoh


Sudah menjadi hal yang lumrah kalau seseorang ingin memiliki pasangan dan memang sewajarnyalah begitu. Apalagi setelah menginjak usia dewasa, masalah ini seperti sudah menjadi momok. Terlebih lagi bagi para mereka yang berstatus jomblo menanyakan hal yang berkaitan dengan jodoh atau pernikahan sama saja dengan menusukan pedang ke ulu hatinya karena hal ini sangatlah sensitif.

Berbicara masalah jodoh ataupun pernikahan, tidak lama lagi ada seorang teman kuliahku yang akan segera naik ke pelaminan. Yang lagi-lagi membuat heboh di grup. Grup kelas semasa kuliah yang tadinya berisi percakapan-percakapan mengenai kehidupan kampus, tugas, skripsi, jadwal ujian dan sebagainya kini berubah menjadi disukusi mengenai jodoh ini. Dan bukan yang mau menikah saja yang menjadi pembahasan tapi malah menjadi ajang “pem-bullyan terhadap yang belum ada tanda-tanda untuk menyusul. 

Yaah semua itu memang berifat candaan dan tak bermaksud menyinggung satu sama lain. Cuma seru saja, dan kalau tidak mau jadi sasaran cukup jadi silent reader saja sambil ketawa ngakak. Hidup ini aneh memang atau tidak. Memang sudah begitulah siklus kehidupan. Setelah melewati suatu tahap maka akan melalui tahap yang berikutnya lagi.

Saya juga baru saja menonton tayangan Shihab & Shihab di youtube. Pembahasannya sangat menarik dengan tema #Jodohpastibertemu. Lagi-lagi tentang jodoh. Kata Abi Quraish Shihab, Jodoh itu adalah pasangan dan semuanya diciptakan berpasang-pasangan. Namun, untuk menemukan pasangan itu perlu ada usaha yang dilakukan oleh manusia. Contoh kecil usaha dalam menemukan jodoh adalah dengan doa.

Masih kata Abi Quraish Shihab, jodoh adalah cerminan diri sekaligus pelengkap dan kita boleh saling mengenal sebagai usaha dalam pencarian jodoh dengan tidak melanggar norma agama. Pembahasan dan pemikiran yang sangat terbuka tersebut bisa menjadi inspirasi bagi mereka yang masih dan sedang berusaha mencari jodohnya.

Ooh iya, saya juga sangat suka satu kalimat dari Abi Quraish Shihab yaitu “cinta yang sebenarnya adalah bukan lagi kata-kata yang berbicara tetapi mata dan hati.” Karena itu tidak tepat kalau orang bilang jatuh cinta, karena jatuh itu tidak disengaja sedang cinta itu diusahakan.

Namun, apapun namanya jika memang sudah waktunya maka jodoh itu pasti dipertemukan jiakalau pun belum janganlah risau juga tidak perlu terburu-buru. Usaha dan berdoa saja, karena ya itu tadi semuanya diciptakan berpasang-pasangan.

Menurutku juga begitu, walau terkadang ada rasa resah karena belum menemukan si “matahari” dan orang tua yang sudah seringkali memberikan isyarat. Juga kalau menghadiri sebuah pesta pernikahan pasti dalam hati selalu ada pertanyaan “saya kapan yah?” Tapi, itu bukan satu-satunya tujuan hidup bukan? Saya pun juga masih muda dan punya cita-cita yang lain. Selagi berusaha mencari sang matahari kenapa tidak membuat pencapaian buat diri sendiri.

Sendiri itu bukan aib. Lebih baik sedikit terlambat dalam menemukan jodoh tapi untuk sekali seumur hidup daripada cepat tapi pada akhirnya jadi berkali-kali.


~WS

19 Maret 2018

Percakapan


Malam sudah cukup larut, saat sebuah percakapan yang bagiku cukup panjang itu membuatku tersenyum macam remaja yang sedang kasmaran. Percakapan biasa yang langka. Semuanya berbeda karena itu dia.

Aaah tidak sepanjang itu, percakapan itu singkat kok. Tidak ada yang spesial pula. Terkadang sesuatu yang menurut orang lain biasa, itu luar biasa bagi diri kita. Mungkin itulah yang terjadi. Aku tahu, sekat tebal selalu membentang sepanjang jalan antara harapan yang sebenarnya sudah lama pupus dengan dia yang tak pernah nyata. Hanya ilusi yang pernah ingin kukejar.

Sebenarnya bukan rasa itu yang membuatku berbunga, tapi percakapan itu yang tak pernah berani aku impikan. Karena bercakap dengannya adalah hal yang sebenarnya tak pernah bisa aku mulai, meski itu di dunia maya, di alam mimpi, apalagi empat mata. Malam ini semuanya terjadi begitu saja dan berakhir begitu saja pula.

Hanya saja, percakapan itu mengingatkanku pada harapan seorang anak perempuan sembilan tahun silam. Seorang anak yang sangat bahagia bertemu dengannya. Harapan  yang tak seharusnya tumbuh. Karena akhirnya berbuah kecewa.

Entah, apa karena baru lagi kujumpai dia atau karena kata-kata yang dia ucapkan. Kata-kata yang terdengar hanya basa basi agar aku tak terlihat bodoh di depan mereka. Terkadang prasangka dan curiga memang lebih dulu ada daripada melihat ketulusan.  Melihatnya lagi, memang kusadari rasa itu telah jauh pergi. Dan tak seharusnya pernah ada....

Sudahlah aku hanya ingin menikmati moment ini. Moment langka bersama mereka.



WS


Februari 2016

Tidak = Kita


Januari, februari, maret, april, hingga oktober. Sembilan bulan bukan waktu yang singkat bukan? Kalau seorang perempuan mengandung pasti sudah melahirkan. Lalu bagaimana dengan kita? Aaah layakkah aku menyebut aku dan kamu adalah kita? Sejak kau hadir entah dari mana di pertengahan januari, mulai saat itu pun hari-hariku tak pernah sepi.

Kau hadir di saat aku rapuh, terjatuh dan sedang berusaha bangkit dan kembali menyusun serpihan-serpihan asa yang berantakan menjadi luka yang terserak lalu tumpah berwujud air mata. Kau datang seolah menjadi angin segar di kehidupanku yang gersang dan hampa. Awalnya kita hanya saling menyapa, basa basi teman lama yang bertemu kembali. Namun seiring waktu, kita mulai berbagi kabar. Bukan lagi sekadar bertanya sedang apa, di mana, dan dengan siapa? Kau teman yang enak diajak bicara, membuatku nyaman berbagi cerita mengenai apa saja baik secara langsung ataupun lewat pesan singkat. Aku semakin mengenalmu dan kau pun begitu.

Semuanya berjalan begitu saja. Kita saling berbalas pesan di setiap waktu, kecuali di saat-saat tertentu ketika kau atau aku sedang ada pekerjaan. Hingga malam, percakapan kita akan berhenti disaat salah satu dari kita ada yang terlelap duluan untuk kemudian percakapan itu dilanjutkan lagi esok pagi. Lewat pesan singkat yang kau kirimkan terkadang membuatku senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

Saat sedang kesal, saat sedang sedih, saat aku sedang ingin bercerita aku menghubungimu. Aku bercerita dan kau mendengarkan, memberi saran, terkadang pula menasehati. Begitu pun kau. Apapun kau ceritakan. Tentang temanmu yang kepo dan selalu menggodamu, tentang roti bakar kesukaanmu yang membuatmu menjadi lebih berisi, dan akupun akan mengejekmu. Setiap kali berbicara denganmu rasanya nyaman dan aku bisa bebas bicara apa saja, rasanya  senang sekali memiliki tempat untuk bercerita. Kau juga begitu perhatian layaknya seorang kakak yang sayang pada adiknya.

Terkadang aku bertanya-tanya, kau anggap apakah aku? Adik, sahabat, ataukah lebih dari itu? Perlakuanmu kadang membuatku baper. Bagaimana tidak, bahkan untuk hal sekecil atau sebesar apapun kau juga mempertanyakannya padaku. Kau yang sangat susah mengambil keputusan di antara dua pilihan akan bertanya padaku, meskipun telah kuberi saran kau tetap penuh pertimbangan bagai buah simalakama dan akulah yang kau buat kesal.

“Dasar aneh” ejekku saat kau masih saja bersikeras dengan kebingunganmu.

“Apanya yang aneh?” tanyamu.

“Kamu, orang paling aneh dan tidak jelas yang pernah kutemui, “ jawabku.

“Kok dibilang tidak jelas, ini aku jelas kok. Besar begini dihadapan kamu masa tidak jelas? Apa perlu kubelikan kaca mata supaya kamu bisa melihatku dengan jelas?” Candamu

Dan tawaku pun meledak “Gak nyambung,” ucapku di sela-sela tertawa. Kau juga ikut tertawa. Percakapan itupun berganti dengan percakapan lainnya.

“Jangan terlalu percaya padaku,” ucapmu suatu ketika.

“kenapa?

“Nanti kamu kecwa.”

Entah apa maksud dari ucapanmu saat itu. Apakah itu isyarat bagiku atau memang begitulah dirimu.
“kalau aku sudah percaya pada seseorang, ya aku percaya saja. Tergantung orang yang dipercaya, bisa menjaga kepercayaan atau tidak.”  Ucapku tenang dan kau tersenyum.

Percakapan kita memang terkadang aneh kurasa. Kadang datar bahkan membosankan, kadang juga percakapan itu begitu dalam sampai mengorek isi hati dan kepalaku, entah kalau kau.

Tak ada yang tahu hati manusia itu seperti apa selain pemiliknya dan Dia yang maha memiliki. Begitupun kau, sejauh manapun aku mengenalmu, sepanjang apa percakapan kita, dan seberapa lamanya aku mengenalmu aku tetap tak pernah bisa menggapaimu. Pertengahan oktober, kita masih seperti biasanya. Tetap berbagi cerita untuk kemudian saling mengejek, lalu entah bagaimana percakapan itu selesai. Pesan-pesanmu tak pernah ada lagi. Aku pun segan mengontakmu duluan. Kau tiba-tiba menghilang tanpa sebab tanpa kata. Apa kau sedang membuat jarak?

Satu dua hari, tak kupersoalkan karena akupun sibuk dengan tugas akhir yang harus kuselesaikan segera. Aku masih bertanya-tanya pada malam yang menyisakan sepi. Dulu kau selalu datang tanpa tedeng aling-aling membuatku tersenyum.

Orang-orang memang selalu silih berganti datang dikehidupan kita dan setiap orang membawa warnanya masing-masing. Entah biru, hijau, putih, abu-abu, atau merah jambu. Bisa pula, berwarna jingga seperti senja yang menggantung di ujung langit. Dan kali ini giliran kau yang pergi. Tak perlu kamus untuk menerjemahkan, tak perlu kata untuk kau jelaskan. Karena aku sudah cukup memahami bahasa alam yang memberiku isyarat. Sekarang aku mengerti, arti dari sebuah keberadaan yang tak memiliki arti. Meski berusaha memaknai, tak akan pernah kutemukan. 

Desember kali ini datang bersama kelabunya langit. Seakan tahu aku sedang berduka. Namun, sederas apa pun hujan, dia tetap akan reda juga. Air yang jatuh pun tidak pernah menyerah pada nasib yang mengantarkannya lebur di tanah. Dia akan tetap mengalir, mengalir, dan terus mengalir hingga menguap ke langit dan kembali menjadi hujan.

Setiap kehidupan memiliki siklusnya sendiri. Hidupmu, hidupku, dan kita dipertemukan bukan untuk menjadi satu. Karena kamu bukan kata yang bisa melengkapiku, menjadi rangkaian kalimat-kalimat untuk menyusun sebuah cerita.


~WS

Desember 2017

Smartphone


“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di lu….”

Dengan kesal aku mematikan dan membanting smartphone yang sedari tadi aku gunakan untuk menelponmu ke kasur. Ini sudah kali kesekian, sejak kau pergi 3 bulan lalu. Sejak itupun kau tak pernah menghiraukanku. Tak biasanya kau seperti ini. Kau benar-benar berbeda. Bahkan kini nomor ponselmu pun sudah tak aktif lagi.

Aaah… aku mulai frustasi. Sejuta prasangka dan curiga kini membayang di benakku. Hari-hariku mulai berteman dengan tanda tanya. Kenapa? Ada apa? Apa yang sedang kau lakukan? Apakah kau tak mencintaiku lagi? Apa kau marah padaku? Apa kau di sana telah bersama dengan wanita lain? Apa kau telah melupakanku? Sesibuk itukah dirimu?

Mataku tertuju pada smartphone yang tadi aku banting. Aku baru tahu, ternyata kau pandai berbohong. Katamu smartphone ini akan menghubungkan kita di mana dan kapan saja. Tapi kini, benda berbentuk persegi panjang berwarna putih ini sedang teronggok tak berdaya karena sudah berulang kali aku banting. Dia hanya menjadi benda mati yang tak mampu lagi menghubungkanku denganmu. Mungkin saat ini dia sedang merenungkan kesalahannya, kalau saja dia adalah makhluk hidup. Sayangnya dia hanya benda mati dan tak dapat lagi kuajak bicara.

Aku tahu jelas kau membawa ponselmu saat kau pergi. Karena akulah yang memaksamu membawanya. Meskipun orang-orang itu melarang, tapi aku memaksamu. Dan kau pun tak keberatan untuk membawanya. Seperti katamu, benda ini yang akan selalu menghubungkan kita. Aku percaya itu. Bagaimana bisa kau tak membawanya? Kau memberiku harapan terlalu tinggi sayang.

Awas saja, saat kau kembali aku takkan memaafkanmu. Biar saja kau memohon-mohon ampun padaku. Kalau saja aku tahu kau akan berubah, aku tak akan pernah mengizinkanmu pergi. Bukannya kau berjanji untuk selalu ada di sisiku? Teganya kau lakukan ini padaku. Sementara aku menunggumu dengan setia di sini. Tak sedetikpun waktuku kuhabiskan tanpa memikirkanmu. Tidakkah kau memikirkanku juga?  

“An…” sebuah suara yang cukup familiar memecahkan lamunanku.

“Ya.” Jawabku tanpa menoleh

“Kenapa masih di sini? Semua orang menunggumu.”

“Aku masih menunggunya” Kali ini aku menoleh dan memandangnya dengan tatapan sendu.

“Sudahlah. Kau tak usah menunggunya lagi, karena dia tidak akan pernah kembali padamu.” Dia lantas membantuku berdiri.
Aku bangkit, lalu mengikutinya menuju ruang tangah yang telah dipenuhi tamu-tamu yang telah berdatangan sejak tadi. Aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling ruangan hingga pandanganku tertumbuk pada sebuah pigura yang membingkai wajahmu yang sedang tersenyum seolah mengatakan padaku bahwa di sana kau sangat bahagia. Di bawahnya ada tulisan Peringatan seratus hari meninggalnya... air mataku menetes tak lagi dapat membaca kata selanjutnya yang menuliskan namamu.
Kini aku tahu jawaban dari sejuta prasangka dalam benakku. Aku sadar, bahkan smartphone canggih pemberianmu yang berisi beragam aplikasi messanger di dalamnya, sudah tak dapat lagi menghubungkan kita.*

~WS


Sunday, 18 March 2018

Tentang Masa Lalu



Sebenarnya, saya sudah malas untuk mengingat-ingat ataupun sekadar tahu tentang seseorang dari masa lalu saya itu. Mungkin sebagian orang berpikir kalau suatu hubungan selesai kita tetap harus menjalin komunikasi yang baik. Hitung-hitung menyambung tali silaturahmi karena bagaimanapun kita pernah menjadi orang yang sangat dekat. Tapi tidak bagiku, hal tersebut tidaklah berlaku. Apa yang sudah selesai ya sudah selesai saja. Masa lalu ya berlaku sebagai masa lalu saja. Cukup menjadi pelajaran dan pengalaman berharga agar tak terulang lagi. Saya memang orang yang seperti itu, kalau kamu memiliki pendapat berbeda ya itu urusanmu. Tapi beginilah saya.

Bukan berarti saya tidak memaafkan ataupun masih memiliki dendam. Sama sekali tidak. Saya hanya tidak ingin berurusan lagi dengan hal-hal yang pernah membuat saya kecewa dan terluka. Apalagi saya sudah berjalan sejauh ini, terkadang saya masih tak menyangka bahwa ternyata saya sanggup. Karena jujur saja, saya dulu pernah berpikir mungkin takakan sanggup kalau tidak dengannya, kalau tanpanya. Bahkan terlalu sulit menjalani hari-hari setelahnya. Berbagi cerita mengenai apa yang saat itu saya rasakan kepada teman-temanku pun tidak bisa. Toh dengan menyimpan semuanya sendiri bisa membuatku menjadi lebih kuat sampai akhirnya bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu itu.

Lantas kenapa saya membahas ini sekarang dan di sini? Karena beberapa hari yang lalu saya tidak sengaja berpapasan dengannya di sebuah swalayan besar di kota ini dan sialnya saya bersitatap dengannya sekilas. Cuma sepersekian detik, tapi membuat saya kepikiran sampai berjam-jam dengan berbagai pertanyaan. Kenapa harus berpapasan dengannya? Kenapa saya harus berbalik ke arahnya di saat dia juga sedang melihat ke arahku? Hari itu aku merasa sangat-sangat tidak beruntung.

Lalu baru saja saya mendapat kabar dari teman yang sangat dekat denganku. Yang ternyata masih berteman dengan Dia di media sosial. Katanya Dia sudah move on dan telah memiliki pasangan yang baru. Langsung kujawab dengan mengucap “Alhamdulillah, baguslah semoga Dia bahagia. Ini benar tulus dari hatiku yang paling dalam. Walau sebenarnya saya tidak mau tahu apapun tentangnya lagi. Saya tidak membecinya hanya mungkin karena saya pernah merasakan kecewa yang terlalu dalam karenanya. Bukan juga karena saya belum bisa move on, tenang saja saya sudah melupakannya sejak lama.

Saya hanya ingin menegaskan lagi, masa lalu yah selayaknya masa lalu. Tak perlu dikenang dan diingat-ingat karena keberadaannya hanya di masa lalu. Cukup jadi pelajaran untuk menjadi manusia lebih baik lagi. Dia bukanlah kesalahan, tapi banyak hal yang salah tentang masa lalu yang perlu kuperbaiki dan tak ingin kuulangi.

Ooh iya, saya memang masih sendiri, tapi sendiri itu bukan berarti belum move on. Saya hanya belum menemukan “Dia” yang sejati.

~WS

Minggu, 18 Maret 2018

Kebelet Menulis

Haaii... ini adalah postingan pertama saya. Di sini saya akan menerangkan kenapa membuat blog ini dan tidak lanjut menulis di blog yang lama.

Jadi, sore tadi saya iseng-iseng buka blog teman saya yang adalah seorang penulis kece yang tulisannya tak perlu diragukan lagi kualitasnya. Setelah membaca beberapa postingannya saya jadi kepikiran aduuhh pengen nulis lagi. 

Sebenarnya sudah dari lama keinginan ini hilang timbul ditelan kemalasan. Entah kenapa setelah baca blognya teman saya itu saya jadi kebelet menulis. Tapi setelah buka-buka blog yang lama saya merasa tampilannya terlalu rame dan sangat berantakan. Jadinya saya membuat blog ini karena menginginkan tampilan yang lebih simpel dan sederhana. 

Blog ini saya beri judul Wstory, nama yang cukup umum sih tapi ini karena di blog ini saya akan lebih banyak membahas mengenai kehidupan sehari-hari saya. Sedangkan alamat blog ini adalah wsani.blogspot.com, kenapa wsani.blogspot.com? wsani adalah singkatan dari nama panjangku Wulan Supiani.

Mungkin itu saja sedikit penjelasan saya, doakan saya konsisten menulis kalau tidak tiap hari setidaknya sekali seminggu.


~WS