Monday, 19 March 2018

Smartphone


“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di lu….”

Dengan kesal aku mematikan dan membanting smartphone yang sedari tadi aku gunakan untuk menelponmu ke kasur. Ini sudah kali kesekian, sejak kau pergi 3 bulan lalu. Sejak itupun kau tak pernah menghiraukanku. Tak biasanya kau seperti ini. Kau benar-benar berbeda. Bahkan kini nomor ponselmu pun sudah tak aktif lagi.

Aaah… aku mulai frustasi. Sejuta prasangka dan curiga kini membayang di benakku. Hari-hariku mulai berteman dengan tanda tanya. Kenapa? Ada apa? Apa yang sedang kau lakukan? Apakah kau tak mencintaiku lagi? Apa kau marah padaku? Apa kau di sana telah bersama dengan wanita lain? Apa kau telah melupakanku? Sesibuk itukah dirimu?

Mataku tertuju pada smartphone yang tadi aku banting. Aku baru tahu, ternyata kau pandai berbohong. Katamu smartphone ini akan menghubungkan kita di mana dan kapan saja. Tapi kini, benda berbentuk persegi panjang berwarna putih ini sedang teronggok tak berdaya karena sudah berulang kali aku banting. Dia hanya menjadi benda mati yang tak mampu lagi menghubungkanku denganmu. Mungkin saat ini dia sedang merenungkan kesalahannya, kalau saja dia adalah makhluk hidup. Sayangnya dia hanya benda mati dan tak dapat lagi kuajak bicara.

Aku tahu jelas kau membawa ponselmu saat kau pergi. Karena akulah yang memaksamu membawanya. Meskipun orang-orang itu melarang, tapi aku memaksamu. Dan kau pun tak keberatan untuk membawanya. Seperti katamu, benda ini yang akan selalu menghubungkan kita. Aku percaya itu. Bagaimana bisa kau tak membawanya? Kau memberiku harapan terlalu tinggi sayang.

Awas saja, saat kau kembali aku takkan memaafkanmu. Biar saja kau memohon-mohon ampun padaku. Kalau saja aku tahu kau akan berubah, aku tak akan pernah mengizinkanmu pergi. Bukannya kau berjanji untuk selalu ada di sisiku? Teganya kau lakukan ini padaku. Sementara aku menunggumu dengan setia di sini. Tak sedetikpun waktuku kuhabiskan tanpa memikirkanmu. Tidakkah kau memikirkanku juga?  

“An…” sebuah suara yang cukup familiar memecahkan lamunanku.

“Ya.” Jawabku tanpa menoleh

“Kenapa masih di sini? Semua orang menunggumu.”

“Aku masih menunggunya” Kali ini aku menoleh dan memandangnya dengan tatapan sendu.

“Sudahlah. Kau tak usah menunggunya lagi, karena dia tidak akan pernah kembali padamu.” Dia lantas membantuku berdiri.
Aku bangkit, lalu mengikutinya menuju ruang tangah yang telah dipenuhi tamu-tamu yang telah berdatangan sejak tadi. Aku mengarahkan pandanganku ke sekeliling ruangan hingga pandanganku tertumbuk pada sebuah pigura yang membingkai wajahmu yang sedang tersenyum seolah mengatakan padaku bahwa di sana kau sangat bahagia. Di bawahnya ada tulisan Peringatan seratus hari meninggalnya... air mataku menetes tak lagi dapat membaca kata selanjutnya yang menuliskan namamu.
Kini aku tahu jawaban dari sejuta prasangka dalam benakku. Aku sadar, bahkan smartphone canggih pemberianmu yang berisi beragam aplikasi messanger di dalamnya, sudah tak dapat lagi menghubungkan kita.*

~WS


No comments:

Post a Comment