Saat
itu malam minggu, sekitar pukul delapan lewat dua puluh menit. Aku sedang duduk
berdua dengan sahabatku di suatu rumah makan di persimpangan jalan sana. Kami
sedang berbincang sambil menunggu pesanan. Pesanan kami sama, mie pangsit biasa
dan segelas es jeruk. Dia yang traktir. Karena saya sudah berbaik hati
menemaninya bertemu dosen pembimbing malam-malam begini.
Rumah
makan ini cukup ramai, hanya ada beberapa meja yang kosong. Saya dan sahabatku
duduk di deretan meja ke lima. Kami duduk berhadapan dan saya dengan posisi
duduk menghadap pintu keluar bisa dengan leluasa melihat siapa saja yang keluar
masuk rumah makan ini.
Di
sela berbincang dengan Iin (begitu sapaan akrabnya) saya pun mengamati
orang-orang di sekitar termasuk orang yang baru masuk. Awalnya, yang masuk
tampak seperti sepasang kekasih mereka duduk di meja deretan ke empat di
barisan 2 karena di rumah makan ini pengaturan meja makannya hanya ada dua
baris dengan delapan deret meja kalau tidak salah saya tidak terlalu
memperhatikan. Saya dan Iin duduk di barisan pertama. Tidak lama setelah itu,
ada seorang laki-laki yang masuk, umurnya sekitar dua puluh lima atau mungin
kurang dari itu. Dia memakai kemeja merah marun kotak-kotak dan sendiri.
Laki-laki itu duduk di meja deretan ke tiga di depan sepasang kekasih yang
tadi. Dan dia sendiri. Awalnya kupikir dia sedang menunggu seseorang.
Lalu
pesanan kami datang. Saya dan Iin pun memakan makanan kami sambil membicarakan
banyak hal. Tentang kami yang masih betah dengan status jomblo padahal banyak
teman kami yang sudah menikah dan punya anak. Pandangan sebagian orang yang
masih berpikiran kolot menganggap usia kami itu sudah terhitung sangat lambat
menikah. Padahal justru di jaman sekarang usia kami ini masih tergolong sangat
muda meskipun sudah layak untuk menikah.
Dalam
beberapa hal saya memang mempunyai pola piker yang sama dengan Iin tapi kami
juga memiliki perbedaan dalam banyak hal lainnya. Bahkan terkadang sikap kami
berdua terbalik di mana yang seharusnya dia sebagai yang lebih tua lebih banyak
member nasihat pada saya, justru selama ini saya yang lebih banyak menasihati
dia. Seperti dalam menyelesaikan pendidikannya, bahkan saya sudah lelah
menasehati dia yang terlalu lama menyelesaikan tugas akhirnya padahal kita
seangkatan dan saya telah wisuda hampir setahun yang lalu.
Kami
juga bercerita mengenai masa-masa sekolah di SD dulu. Yah persahabatan kami
memang terjalin sudah lebih dari sepuluh tahun. Sesekali kami tertawa saat
mengenang hal-hal lucu yang pernah kami lalui. Kami asik saja bercerita tanpa
menghiraukan orang-orang di sekitar kita. Aahh masa bodo toh nggak kenal haha
begitu pikirku.
Begitulah
kami kalau bertemu selalu heboh, ini baru berdua belum kumpul berempat. Lebih heboh
lagi pastinya. Tapi kumpul berempat itu sangat amat jarang terjadi karena
kesibukan masing-masing. Uuuhh jadi rindu. Kami juga sangat jarang
berkomunikasi walaupun melalui media sosial. Kalaupun saling menghubungi paling
jika ada sesuatu yang penting atau hanya untuk menanyakan hal-hal tertentu. Toh
dengan begitu pun persahabatan kami tetap bejalan baik dan harmonis.
Jarum
jam sudah menujukkan pukul 21.00, makanan kami sudah tandas. Kami memutuskan untuk
pulang. Tapi sebelumnya Iin membayar makanan yang tadi kami makan dulu di
kasir. Saat Iin sedang memutar motornya, saya melihat si kemeja merah marun
tadi keluar dari rumah makan dan masuk ke sebuah mobil warna hitam, jangan Tanya
mereknya karena saya buta masalah itu hehe. Loh tampaknya memang dia sendiri
kupikir sedang menunggu seseorang. “memangnya kenapa kalau dia sendiri? Kamu mau
temani?” ujar Iin saat saya memberitahunya mengenai laki-laki itu. “yaaah
tidaklah, kan saya hanya mengamati orang itu” jawabku tertwa.
Begitulah
malam minggu kami berdua yang singkat itu berlalu. Ooh iya, buat Iin, sahabat
yang sudah seperti kakak bagiku itu semoga segera menyandang gelar sarjana
seceptnya. Saya doakan yang terbaik buatmu, amiiinn…
~WS
24 Maret 2018
No comments:
Post a Comment