Saturday, 24 March 2018

Malam Minggu Kami


Saat itu malam minggu, sekitar pukul delapan lewat dua puluh menit. Aku sedang duduk berdua dengan sahabatku di suatu rumah makan di persimpangan jalan sana. Kami sedang berbincang sambil menunggu pesanan. Pesanan kami sama, mie pangsit biasa dan segelas es jeruk. Dia yang traktir. Karena saya sudah berbaik hati menemaninya bertemu dosen pembimbing malam-malam begini.
Rumah makan ini cukup ramai, hanya ada beberapa meja yang kosong. Saya dan sahabatku duduk di deretan meja ke lima. Kami duduk berhadapan dan saya dengan posisi duduk menghadap pintu keluar bisa dengan leluasa melihat siapa saja yang keluar masuk rumah makan ini.

Di sela berbincang dengan Iin (begitu sapaan akrabnya) saya pun mengamati orang-orang di sekitar termasuk orang yang baru masuk. Awalnya, yang masuk tampak seperti sepasang kekasih mereka duduk di meja deretan ke empat di barisan 2 karena di rumah makan ini pengaturan meja makannya hanya ada dua baris dengan delapan deret meja kalau tidak salah saya tidak terlalu memperhatikan. Saya dan Iin duduk di barisan pertama. Tidak lama setelah itu, ada seorang laki-laki yang masuk, umurnya sekitar dua puluh lima atau mungin kurang dari itu. Dia memakai kemeja merah marun kotak-kotak dan sendiri. Laki-laki itu duduk di meja deretan ke tiga di depan sepasang kekasih yang tadi. Dan dia sendiri. Awalnya kupikir dia sedang menunggu seseorang.

Lalu pesanan kami datang. Saya dan Iin pun memakan makanan kami sambil membicarakan banyak hal. Tentang kami yang masih betah dengan status jomblo padahal banyak teman kami yang sudah menikah dan punya anak. Pandangan sebagian orang yang masih berpikiran kolot menganggap usia kami itu sudah terhitung sangat lambat menikah. Padahal justru di jaman sekarang usia kami ini masih tergolong sangat muda meskipun sudah layak untuk menikah.

Dalam beberapa hal saya memang mempunyai pola piker yang sama dengan Iin tapi kami juga memiliki perbedaan dalam banyak hal lainnya. Bahkan terkadang sikap kami berdua terbalik di mana yang seharusnya dia sebagai yang lebih tua lebih banyak member nasihat pada saya, justru selama ini saya yang lebih banyak menasihati dia. Seperti dalam menyelesaikan pendidikannya, bahkan saya sudah lelah menasehati dia yang terlalu lama menyelesaikan tugas akhirnya padahal kita seangkatan dan saya telah wisuda hampir setahun yang lalu.

Kami juga bercerita mengenai masa-masa sekolah di SD dulu. Yah persahabatan kami memang terjalin sudah lebih dari sepuluh tahun. Sesekali kami tertawa saat mengenang hal-hal lucu yang pernah kami lalui. Kami asik saja bercerita tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar kita. Aahh masa bodo toh nggak kenal haha begitu pikirku.

Begitulah kami kalau bertemu selalu heboh, ini baru berdua belum kumpul berempat. Lebih heboh lagi pastinya. Tapi kumpul berempat itu sangat amat jarang terjadi karena kesibukan masing-masing. Uuuhh jadi rindu. Kami juga sangat jarang berkomunikasi walaupun melalui media sosial. Kalaupun saling menghubungi paling jika ada sesuatu yang penting atau hanya untuk menanyakan hal-hal tertentu. Toh dengan begitu pun persahabatan kami tetap bejalan baik dan harmonis.

Jarum jam sudah menujukkan pukul 21.00, makanan kami sudah tandas. Kami memutuskan untuk pulang. Tapi sebelumnya Iin membayar makanan yang tadi kami makan dulu di kasir. Saat Iin sedang memutar motornya, saya melihat si kemeja merah marun tadi keluar dari rumah makan dan masuk ke sebuah mobil warna hitam, jangan Tanya mereknya karena saya buta masalah itu hehe. Loh tampaknya memang dia sendiri kupikir sedang menunggu seseorang. “memangnya kenapa kalau dia sendiri? Kamu mau temani?” ujar Iin saat saya memberitahunya mengenai laki-laki itu. “yaaah tidaklah, kan saya hanya mengamati orang itu” jawabku tertwa.

Begitulah malam minggu kami berdua yang singkat itu berlalu. Ooh iya, buat Iin, sahabat yang sudah seperti kakak bagiku itu semoga segera menyandang gelar sarjana seceptnya. Saya doakan yang terbaik buatmu, amiiinn…


~WS

24 Maret 2018

No comments:

Post a Comment