Saturday, 14 September 2019

Belajar dari Habibie


Hari ini adalah hari terakhir dari Hari Berkabung Nasional yang telah ditetapkan pemerintah atas meninggalnya presiden ketiga Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie, 11 September 2019 kemarin. Indonesia berduka. Ibu pertiwi kehilangan putra terbaiknya yang berpulang kembali kepada sang pemilik kehidupan.

Setiap kali menonton atau melihat siaran televisi ataupun di media sosial tentang eyang Habibie air mataku masih saja jatuh. Ada haru yang menelisik begitu dalam di relung sukmaku melihat sosoknya. Habibie adalah seorang pecinta yang begitu setia. Sosok yang penuh cinta nan romantis. Cintanya bukan hanya untuk sang kekasih hati belahan jiwanya, tapi cintanya juga murni untuk negerinya. Tak pernah luntur meski di usianya yang telah uzur. Ia adalah negarawan sejati yang mengabdi tanpa memandang materi.

Dari eyang Habibie kita bisa belajar banyak hal, tentang cinta, tentang kehidupan, dan bagaimana ilmu pengetahuan dan ilmu agama harus sejalan dan beriringan agar bisa menjadikan kita sebenar-benarnya manusia. Di tengah harapan dan mimpinya untuk kemajuan Indonesia, sisa hidupnya beliau habiskan untuk merindukan sang istri tercintanya, Hasri Ainun Besari yang telah lebih dulu berpulang Sembilan tahun lalu. Matanya yang selalu berbinar saat menceritakan tentang kisah cintanya dengan Ainun, walau kadang terlihat sendu tapi juga beliau bisa tertawa lepas saat membayangkan bagaimana ketika beliau memasuki dimensi yang sama dengan Ainun, maka Ainunlah yang paling pertama akan menyambutnya.

Begitu pula ketika beliau berbicara tentang pesawat yang adalah mimpinya, wajahnya memancarkan harapan. Di usia senjanya, beliau tidak pernah berdiam diri, bahkan terlihat abai dengan segala penyakit yang mendera. Ia begitu aktif dan banyak memberi inspirasi. Cita-citanya untuk kehidupan di bumi Indonesia semakin baik melambung jauh. Harapannya kepada anak-anak muda Indonesia begitu tinggi. Ia selalu percaya bahwa kita bangsa Indonesia harus bisa membangun Negara kita sendiri, kalau bukan kita siapa lagi. Indonesia harus menjadi Negara yang berdikari dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tanpa melupakan budaya kita.

Di saat dunia berkonspirasi menawarkan segala, panggilan negerinya adalah yang paling berharga. Kala dunia lagi-lagi mengandaskan mimpinya, memaksanya menghentikan proyek pesawat N-250 yang tinggal beberapa langkah saja untuk megudara di bumi Indonesia, ia lagi-lagi mengalah demi kemaslahatan bangsa. Mengesampingkan ego dan cita-citanya agar Indonesia bisa baik-baik saja. Meski menjabat sebagai Presiden Cuma hitungan bulan, tapi jasanya untuk Indonesia lebih dari itu. Karenanya nama Indonesia menjadi diperhitungkan. Karena kelapangan hatinya yang membuka keran demokrasi di Indonesia hingga menjadi seperti saat ini. Jasa-jasanya untuk negeri ini tak cukup hanya dihitug jari. Habibie adalah anak bangsa yang sempat terlupa namun memberi banyak sumbangsih tanpa pamrih.

Kini sang teknokrat telah pergi. Tugasnya di dunia ini telah usai. Tapi perjuangan bukan berarti telah selesai. Visinya untuk Indonesia masih harus terus berjalan, mimpinya agar Indonesia memiliki pesawat buatan anak bangsa harus terus berlanjut. Dan cinta yang dimilikinya harusnya ada disetiap relung hati anak bangsa. Kitalah generasi penerus yang mestinya memajukan Negara kita di bidang yang kita tekuni masing-masing.

Beristirahatlah dengan damai eyang… selamat berjumpa kembali dengan kekasih hati yang bagimu adalah cinta illahi. Indonesia memang berduka kehilangan putra terbaiknya, tapi kami tahu engkau berbahagia di sana telah berjumpa dengannya yang selama ini selalu engkau rindukan. Tentangmu akan selalu terkenang, kisah yang menjadi sejarah besar bagi bangsa Indonesia.


~WS


No comments:

Post a Comment